Pasal
1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 dengan
tegas menyebutkan, bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Eksistensi
sebuah negara hukum Indonesia mengharuskan setiap aspek tindakan baik
pemerintah ataupun warga negara harus berdasar pada hukum. Artinya, siapa saja
tidak dapat melakukan sekehendaknya atau melawan hukum negara, mengedepankan
ego pribadi ataupun kelompok hanya untuk mencapai tujuan-tujuannya, yang
berimbas terhadap lahirnya pelanggaran bahkan kejahatan di dalam masyarakat.
Beberapa
tahun terakhir, hukum negeri ini seolah diuji. Satu persatu konflik horizontal
lahir yang berujung pada aksi main hakim sendiri. Belum tuntas kasus
penyerangan jemaat ahmadiyah di beberapa daerah dan penyerangan kelompok Syiah
di Sampang, kini kasus main hakim sendiri (eigenrichting)
kembali terjadi melalui penyerangan terhadap narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) di Cebongan, oleh beberapa anggota Korps Pasukan Khusus
(Kopassus). Empat tahanan tewas dalam penyerangan tersebut.
Terlibatnya
anggota Kopassus dalam kasus Cebongan disebabkan terbunuhnya bintara Kopassus yang
diduga dilakukan oleh sekelompok preman yang kemudian ditahan polisi di Lapas
Cebongan. Penyerangan ke Lapas yang menewaskan keempat tahanan itu, dilatarbelakangi
semangat jiwa Korps Kesatuan (Korsa) yang salah diterapkan. Kesalahan penerapan
ini, ditunjukkan dari tidak ksatrianya cara-cara yang dilakukan kopassus dengan
menghukum preman menggunakan cara-cara yang preman pula. Korsa sendiri merupakan
gerakan yang dilakukan korps Tentara Nasional Indonesia, untuk membela
kehormatan kesatuannya. Apapun alasannya, Indonesia sebagai negara hukum sama
sekali tidak dapat membenarkan tindakan anggota Kopassus tersebut.
Memalukan!
Satu kata yang merefleksikan penegakan hukum di indonesia yang mudahnya
dilumpuhkan oleh aparat negara itu sendiri. Lapas yang merupakan tempat netral,
atau tepatnya tempat berlindung bagi warga negara yang terpaut masalah hukum,
tiba-tiba berubah menjadi tempat yang berbahaya. Keempat tahanan tidak dapat
melakukan apa-apa karena dibatasi tembok-tembok pengaman yang sempit. Bukan maksud
memihak terhadap keempat tahanan tersebut, tetapi dalam hukum pidana indonesia bukankah
kita telah mengenal adanya asas praduga tak bersalah (Presumption of Innocent) yang tercantum dalam Penjelasan Umum Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana butir ke 3 huruf c. Bunyi asas ini ialah,
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau
dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai
adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan
hukum tetap.”
Tidak
ada yang sungguh-sungguh menjamin bahwa keempat tahanan tersebut bersalah dan
harus bertanggungjawab penuh atas meninggalnya bintara Kopassus. Hanya putusan
pengadilanlah yang berhak memutuskan itu. Sehingga segala tindakan main hakim,
yang diterapkan kepada keempat tahanan tersebut sebelum adanya putusan
pengadilan yang in kracht van gewijsde, adalah
tidak benar bahkan tergolong kejahatan.
Melangkahi Pengadilan
Seolah
melangkahi kewenangan pengadilan, tindakan beberapa anggota Kopassus menghukum
mati keempat tahanan Lapas Cebongan, salah besar. Anggota Kopassus yang
seyogyanya bertugas menyelesaikan permasalahan yang mengancam kedaulatan
negara, kini turut dalam aksi main hakim sendiri.
Indonesia
sebagai negara hukum sepatutnya menjamin hak dan memberi rasa aman kepada setiap
warganya melalui hukum. Jika hukum tak sanggup menciptakan rasa aman dan
keadilan, atau para penegak hukum tidak lagi memiliki keberanian untuk
menuntaskan persoalan itu, niscaya negara ini perlahan-lahan tapi pasti
terjebak dalam apa yang disebut Bryan Turner sebagai Mad Max scenario. Terminologi
itu mengacu ke sebuah film yang menjelaskan sebuah visi apokaliptik tentang masa
depan masyarakat global yang dapat hidup dalam suatu kondisi penuh kekerasan.
Umat manusia terlempar kembali ke dalam cara hidup primitif yang keras dan
tanpa hukum yang mengatur.
Bukan Kasus Pertama
Seperti
yang telah dijelaskan penulis di awal, kasus penyerangan terhadap tahanan di
Lapas Cebongan bukanlah kasus main hakim sendiri pertama di Indonesia. Telah
ada serentetan Kasus-kasus main hakim sendiri yang pernah terjadi. Sebut saja
kasus pencurian dan tabrakan di jalanan hingga kasus penyerangan jemaat
ahmadiyah dan kelompok syiah di Sampang yang berakhir pada aksi main hakim
sendiri. Tindakan semacam ini telah menghilangkan banyak hak-hak korban sebagai
warga negara serta mengesampingkan hukum yang berlaku kini. Hak hidup, hak kebebasan
meyakini kepercayaan, hak menyatakan pikiran dan sikap, hak untuk bebas dari
penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat, hak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi dan lain sebagainya adalah sekumpulan
hak-hak warga negara yang harus dijamin oleh negara hukum Indonesia.
Wibawa Hukum
Terjadinya
kasus cebongan menambah deretan panjang kasus main hakim sendiri di Indonesia,
mengakibatkan wibawa hukum di mata publik kini berada pada titik nadir. Asumsi
penulis tersebut senada survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI)
yang menyebut bahwa 56,0 persen publik menyatakan tidak puas dengan penegakan
hukum di Indonesia, hanya 29,8 persen menyatakan puas, sedangkan sisanya 14,2
persen tidak menjawab. Minimnya kepercayaan publik atas proses penegakkan hukum
ini berkorelasi pada cukup tingginya masyarakat yang setuju main hakim sendiri.
Hal ini juga dibuktikan oleh survei LSI lainnya yang menunjukkan ada sebanyak
30,6 persen responden setuju menghukum sendiri pelaku kejahatan karena tak
percaya proses hukum yang adil.
Hukum
kini tidak lagi dipandang sebagai a tool of social control yang dapat mengatur
kehidupan masyarakat sehingga memberikan rasa aman dan perlindungan terhadap hak-hak
tiap warga negara. Publik memilih menyelesaikan sendiri masalahnya melalui aksi
main hakim tanpa menyerahkannya kepada pihak yang berwenang, merupakan suatu ironi
bagi sebuah negara hukum. Negara hukum Indonesia akan kehilangan wibawa
hukumnya ketika penegakan hukum tidak berjalan secara sehat bahkan mengabaikan
rasa keadilan.
Oleh : Sudarwin
Tulisan ini dimuat dalam Koran Identitas Universitas Hasanuddin
edisi akhir april 2013
Tulisan ini dimuat dalam Koran Identitas Universitas Hasanuddin
edisi akhir april 2013
No comments:
Post a Comment
Orang baik meninggalkan pesan