• [Terbaru] Menuju Titik Tertinggi Pulau Jawa (Part 1): Ide Gila Modal Nekat Klik Disini

Sunday 12 May 2013

New (Amsterdam/York): Bukti Kesuksesan Belanda di Benua Merah



Tahukah anda alasan saya menampilkan gambar diatas?
Atau tahukah anda hubungan antara keduanya?

Sebelum saya menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita sedikit flashback ke tahun 1600an.

Tahun 1600an

Sejak abad ke-16, Belanda telah menjelajah ke pelbagai penjuru dunia. Pada zaman itu Belanda merupakan pusat ekonomi dan perdagangan yang sangat penting. Belanda membangun jaringan perdagangan yang luas melalui pembentukan serikat dagangnya, yakni Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Hindia Timur dan West-Indische Compagnie (WIC) untuk aktivitas perdagangan di Hindia Barat. Masa keemasan Belanda memunculkan banyak saingan, satu di antara mereka adalah Inggris, yang merupakan salah satu kekuatan besar di dunia Atlantik. Persaingan antara kedua negara ini selalu menyebabkan perang.

Belanda menjelajah dunia

Pada 3 September 1609, Henry Hudson dari VOC melakukan eksplorasi ke Benua Amerika, di sekitaran sungai yang saat ini dinamakan Sungai Hudson (nama Sungai Hudson sendiri di ambil dari nama Henry Hudson). Ia mencatat terdapat banyak populasi Beaver (hewan pengerat) di wilayah itu yang tidak dimanfaatkan. Padahal bulu Beaver saat itu sedang menjadi trend fashion di Eropa yang dapat membawa banyak keuntungan. Laporan Hudson mengenai populasi Beaver yang banyak di kawasan Sungai Hudson akhirnya membawa negeri Belanda berkoloni di kawasan tersebut.


Nieuw Amsterdam

Dengan semakin banyaknya warga Belanda yang datang ke Kawasan Sungai Hudson, akhirnya pada tahun 1624 belanda mendirikan Kota Nieuw Amsterdam (New Amsterdam) di wilayah itu. Fort Amsterdam yang merupakan benteng pertahanan WIC pun dibangun setahun setelahnya.


Nieuw Amsterdam

Pada tahun 1650, New Amsterdam mengalami booming komersial dan penduduk. Belanda membangun kota tersebut dengan sangat baik. Perdaganganpun berkembang begitu pesatnya. Hal ini kemudian memancing ketertarikan kekuatan-kekuatan lain untuk menguasai wilayah ini termasuk Inggris yang pada akhirnya menguasai wilayah ini pada tahun 1664 dan mengubah namanya menjadi New York.

New York

Saat ini New York merupakan kota terbesar di Amerika, dimana kota tersebut merupakan pusat bisnis dan wisata. New York juga disebut sebagai ibu kota keuangan dunia karena merupakan kota global yang menjadi perhubungan perusahaan dan bisnis serta tempat bagi sejumlah bank dan/atau bursa saham terkenal. New York merupakan kota terpadat di Amerika Serikat, dan pusat wilayah metropolitan New York merupakan salah satu wilayah metropolitan terpadat di dunia. Sebuah kota global terdepan, New York memberi pengaruh besar terhadap perdagangan, keuangan, media, budaya, seni, mode, riset, penelitian dan hiburan dunia. New York juga merupakan tempat markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa, dimana kota ini menjadi pusat hubungan internasional yang sangat penting.

New York
Mengenali kota tersebut berarti mempelajari sejarah terbentuknya, kesuksesan Belanda merintis lahirnya sebuah kota luar biasa sekelas New York (New Amsterdam) bukanlah hal yang mudah. Butuh kerja keras dan kepintaran melihat peluang dalam mencapai semua itu. Kegigihan dalam berdagang yang dilakukan negeri Belanda merupakan hal yang patut menjadi pelajaran bagi bangsa kita kedepannya.


Jawaban Kedua Pertanyaan Sebelumnya

Sebagai bentuk penghargaan kepada negara pendirinya, Bendera New York pun didesain memiliki kombinasi warna yang sama dengan bendera Belanda, yakni merah, putih dan Biru, dimana ditengahnya terdapat lingkaran yang bergambar pria pendatang Eropa dan warga pribumi Amerika yang mengapit tameng bergambar baling-baling kincir air khas Belanda.



Referensi:





Friday 3 May 2013

Main Hakim Sendiri: Ironi Sebuah Negara Hukum


Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 dengan tegas menyebutkan, bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Eksistensi sebuah negara hukum Indonesia mengharuskan setiap aspek tindakan baik pemerintah ataupun warga negara harus berdasar pada hukum. Artinya, siapa saja tidak dapat melakukan sekehendaknya atau melawan hukum negara, mengedepankan ego pribadi ataupun kelompok hanya untuk mencapai tujuan-tujuannya, yang berimbas terhadap lahirnya pelanggaran bahkan kejahatan di dalam masyarakat.
Beberapa tahun terakhir, hukum negeri ini seolah diuji. Satu persatu konflik horizontal lahir yang berujung pada aksi main hakim sendiri. Belum tuntas kasus penyerangan jemaat ahmadiyah di beberapa daerah dan penyerangan kelompok Syiah di Sampang, kini kasus main hakim sendiri (eigenrichting) kembali terjadi melalui penyerangan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di Cebongan, oleh beberapa anggota Korps Pasukan Khusus (Kopassus). Empat tahanan tewas dalam penyerangan tersebut.
Terlibatnya anggota Kopassus dalam kasus Cebongan disebabkan terbunuhnya bintara Kopassus yang diduga dilakukan oleh sekelompok preman yang kemudian ditahan polisi di Lapas Cebongan. Penyerangan ke Lapas yang menewaskan keempat tahanan itu, dilatarbelakangi semangat jiwa Korps Kesatuan (Korsa) yang salah diterapkan. Kesalahan penerapan ini, ditunjukkan dari tidak ksatrianya cara-cara yang dilakukan kopassus dengan menghukum preman menggunakan cara-cara yang preman pula. Korsa sendiri merupakan gerakan yang dilakukan korps Tentara Nasional Indonesia, untuk membela kehormatan kesatuannya. Apapun alasannya, Indonesia sebagai negara hukum sama sekali tidak dapat membenarkan tindakan anggota Kopassus tersebut.
Memalukan! Satu kata yang merefleksikan penegakan hukum di indonesia yang mudahnya dilumpuhkan oleh aparat negara itu sendiri. Lapas yang merupakan tempat netral, atau tepatnya tempat berlindung bagi warga negara yang terpaut masalah hukum, tiba-tiba berubah menjadi tempat yang berbahaya. Keempat tahanan tidak dapat melakukan apa-apa karena dibatasi tembok-tembok pengaman yang sempit. Bukan maksud memihak terhadap keempat tahanan tersebut, tetapi dalam hukum pidana indonesia bukankah kita telah mengenal adanya asas praduga tak bersalah (Presumption of Innocent) yang tercantum dalam Penjelasan Umum Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana butir ke 3 huruf c. Bunyi asas ini ialah,
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Tidak ada yang sungguh-sungguh menjamin bahwa keempat tahanan tersebut bersalah dan harus bertanggungjawab penuh atas meninggalnya bintara Kopassus. Hanya putusan pengadilanlah yang berhak memutuskan itu. Sehingga segala tindakan main hakim, yang diterapkan kepada keempat tahanan tersebut sebelum adanya putusan pengadilan yang in kracht van gewijsde, adalah tidak benar bahkan tergolong kejahatan.
Melangkahi Pengadilan
Seolah melangkahi kewenangan pengadilan, tindakan beberapa anggota Kopassus menghukum mati keempat tahanan Lapas Cebongan, salah besar. Anggota Kopassus yang seyogyanya bertugas menyelesaikan permasalahan yang mengancam kedaulatan negara, kini turut dalam aksi main hakim sendiri.
Indonesia sebagai negara hukum sepatutnya menjamin hak dan memberi rasa aman kepada setiap warganya melalui hukum. Jika hukum tak sanggup menciptakan rasa aman dan keadilan, atau para penegak hukum tidak lagi memiliki keberanian untuk menuntaskan persoalan itu, niscaya negara ini perlahan-lahan tapi pasti terjebak dalam apa yang disebut Bryan Turner sebagai Mad Max scenario. Terminologi itu mengacu ke sebuah film yang menjelaskan sebuah visi apokaliptik tentang masa depan masyarakat global yang dapat hidup dalam suatu kondisi penuh kekerasan. Umat manusia terlempar kembali ke dalam cara hidup primitif yang keras dan tanpa hukum yang mengatur.
Bukan Kasus Pertama
Seperti yang telah dijelaskan penulis di awal, kasus penyerangan terhadap tahanan di Lapas Cebongan bukanlah kasus main hakim sendiri pertama di Indonesia. Telah ada serentetan Kasus-kasus main hakim sendiri yang pernah terjadi. Sebut saja kasus pencurian dan tabrakan di jalanan hingga kasus penyerangan jemaat ahmadiyah dan kelompok syiah di Sampang yang berakhir pada aksi main hakim sendiri. Tindakan semacam ini telah menghilangkan banyak hak-hak korban sebagai warga negara serta mengesampingkan hukum yang berlaku kini. Hak hidup, hak kebebasan meyakini kepercayaan, hak menyatakan pikiran dan sikap, hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat, hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi dan lain sebagainya adalah sekumpulan hak-hak warga negara yang harus dijamin oleh negara hukum Indonesia.
Wibawa Hukum
Terjadinya kasus cebongan menambah deretan panjang kasus main hakim sendiri di Indonesia, mengakibatkan wibawa hukum di mata publik kini berada pada titik nadir. Asumsi penulis tersebut senada survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menyebut bahwa 56,0 persen publik menyatakan tidak puas dengan penegakan hukum di Indonesia, hanya 29,8 persen menyatakan puas, sedangkan sisanya 14,2 persen tidak menjawab. Minimnya kepercayaan publik atas proses penegakkan hukum ini berkorelasi pada cukup tingginya masyarakat yang setuju main hakim sendiri. Hal ini juga dibuktikan oleh survei LSI lainnya yang menunjukkan ada sebanyak 30,6 persen responden setuju menghukum sendiri pelaku kejahatan karena tak percaya proses hukum yang adil.
Hukum kini tidak lagi dipandang sebagai  a tool of social control yang dapat mengatur kehidupan masyarakat sehingga memberikan rasa aman dan perlindungan terhadap hak-hak tiap warga negara. Publik memilih menyelesaikan sendiri masalahnya melalui aksi main hakim tanpa menyerahkannya kepada pihak yang berwenang, merupakan suatu ironi bagi sebuah negara hukum. Negara hukum Indonesia akan kehilangan wibawa hukumnya ketika penegakan hukum tidak berjalan secara sehat bahkan mengabaikan rasa keadilan.
Oleh : Sudarwin
Tulisan ini dimuat dalam Koran Identitas Universitas Hasanuddin
edisi akhir april 2013